
Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Menimbulkan Protes dan Kekecewaan
Peningkatan drastis pajak bumi dan bangunan (PBB) di berbagai daerah kembali memicu protes dari masyarakat. Isu ini tidak hanya menunjukkan ketidakpuasan terhadap kebijakan fiskal, tetapi juga mengungkap masalah yang lebih dalam tentang keadilan pajak dan hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat.
Amnesty International Indonesia menyoroti bahwa kebijakan peningkatan PBB yang dilakukan tanpa melibatkan partisipasi publik telah memicu rasa tidak puas yang seharusnya bisa dihindari. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa pemerintah harus memperhatikan suara rakyat ketika membuat kebijakan yang memengaruhi kehidupan banyak orang.
"Pajak memang penting sebagai sumber pendapatan negara dan bisa membantu pemenuhan hak asasi manusia. Namun, kebijakan seperti ini harus dibuat melalui proses konsultasi publik. Jika tidak, masyarakat justru akan dipaksa berhadapan dengan aparat di jalanan," ujarnya.
Respons aparat terhadap protes di Pati dan Bone justru memperburuk situasi. Alih-alih melakukan dialog, polisi memilih cara represif seperti penggunaan gas air mata, kekerasan fisik, hingga penangkapan yang tidak proporsional. Usman menilai bahwa meskipun aparat bekerja dalam situasi sulit, penggunaan kekuatan harus tetap proporsional dan akuntabel.
Kasus di Bone menjadi contoh nyata. Pada 19 Agustus lalu, mahasiswa dan warga berunjuk rasa menolak kenaikan PBB-P2 hingga 300 persen. Karena tuntutan mereka tidak direspons, situasi memanas. Aparat membubarkan massa secara paksa menggunakan gas air mata dan menangkap 62 orang, termasuk dua jurnalis yang mengalami intimidasi. Meski akhirnya dilepaskan, peristiwa ini meninggalkan trauma dan kekecewaan mendalam.
Di Pati, aksi besar terjadi pada 13 Agustus. Massa menolak kebijakan Bupati Sudewo yang menaikkan PBB-P2 hingga 250 persen. Polisi kembali menggunakan gas air mata, menyebabkan lima warga sipil dan satu polisi terluka. Puluhan orang ditahan. Meski akhirnya kebijakan tersebut dibatalkan, kemarahan masyarakat sudah meluas karena Bupati sebelumnya menantang warga untuk turun ke jalan.
Amnesty International menilai bahwa kasus di Pati dan Bone hanyalah permukaan dari sebuah masalah yang lebih besar. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan ada 104 daerah yang telah menaikkan PBB-P2, dan 20 di antaranya bahkan lebih dari 100 persen. Kebijakan sepihak semacam ini tidak hanya memberatkan rakyat, tetapi juga memperbesar jurang ketidakpercayaan antara masyarakat dan pemerintah daerah.
Lebih lanjut, Amnesty menyerukan agar pemerintah pusat mengambil langkah serius: menghentikan represi terhadap masyarakat yang menggunakan haknya untuk berdemonstrasi, serta membatalkan kebijakan kenaikan PBB yang diputuskan tanpa partisipasi bermakna.
"Jika negara serius ingin memastikan keadilan pajak, maka yang harus dikejar adalah penghindaran dan penggelapan pajak dari kelompok berduit, bukan membebani rakyat kecil," tegas Usman.
Kasus Pati dan Bone kini menjadi cermin bahwa transparansi, partisipasi publik, dan keadilan sosial harus menjadi prinsip utama dalam setiap kebijakan fiskal. Tanpa itu, pajak yang seharusnya menjadi alat pembangunan justru berubah menjadi sumber ketidakadilan dan pemicu konflik antara rakyat dengan aparat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!