
Kebijakan Berbasis Viralitas: Peluang dan Tantangan
Pemerintah sering kali mengambil kebijakan berdasarkan isu atau tuntutan yang viral di media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan publik kini bisa menjadi salah satu bentuk pengaruh terhadap pembuatan kebijakan. Namun, meskipun viralitas bisa menjadi alat untuk menyuarakan aspirasi masyarakat, kebijakan yang dibuat hanya berdasarkan tren tersebut tetap perlu didasarkan pada data dan bukti ilmiah.
Beberapa waktu terakhir, pemerintah sering kali membuat kebijakan yang tiba-tiba diumumkan atau bahkan dibatalkan setelah mendapat protes dari masyarakat. Contohnya adalah kebijakan pemblokiran rekening ‘nganggur’ oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Awalnya, PPATK memblokir sekitar 28 juta rekening yang tidak digunakan selama 3 hingga 12 bulan. Namun, kebijakan ini dicabut setelah banyak warga yang memprotes. Langkah pemerintah yang plin-plan ini menunjukkan bagaimana negara bisa bertindak secara tidak terstruktur dalam menerbitkan kebijakan, lalu tiba-tiba membatalkannya ketika isu tersebut viral.
Viralitas bukanlah hal negatif secara keseluruhan. Dalam teori pemerintahan, proses penyusunan kebijakan biasanya mengikuti siklus policy cycle, mulai dari agenda setting, formulasi instrumen kebijakan, penentuan instrumen, implementasi, hingga evaluasi. Namun, kebijakan berbasis viralitas tidak mengikuti siklus ini. Dalam studi kebijakan, model ini dikenal sebagai garbage can model of policymaking process, yaitu proses yang tidak terstruktur dan cenderung lemah dalam menyelesaikan masalah.
Namun, kebijakan yang dibuat berdasarkan viralitas tidak selalu buruk. Suara warga di internet yang menunjukkan bukti nyata, maupun ulasan pribadi dan komentar berdasarkan fakta dan pengalaman pribadi, bisa menjadi informasi valid untuk mendorong sebuah gerakan. Lebih jauh lagi, ini bisa menjadi bagian dari reformasi kebijakan yang sebelumnya dianggap kurang berpihak kepada masyarakat. Tentunya dengan catatan bahwa penyusunan kebijakan tersebut harus didasarkan pada informasi, data, dan bukti yang memadai, serta memiliki legitimasi yang kuat.
Advokasi Reaktif, Tapi Solutif
Kebijakan berbasis fenomena viral biasanya lekat dengan advokasi reaktif. Namun, pola ini justru cocok dengan gaya kebijakan pemerintah yang cepat, tertutup, dan populis. Proses biasanya dimulai dari ketika masyarakat sipil mengumpulkan data berdasarkan pengalaman komunitas terdampak, lalu menguapkan isu tersebut ke permukaan hingga menjadi viral. Dari sinilah tekanan publik muncul, mendorong pemerintah merespons dan bereaksi cepat, yang biasanya berujung pada kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat.
Contoh nyata adalah aksi masyarakat sipil yang mengepung kantor Bupati Pati karena menolak kenaikan pajak Bumi Bangunan (PBB) yang serampangan. Aksi tersebut viral, menyebar ke daerah lain, dan akhirnya membuat pemerintah daerah membatalkan kebijakan, bahkan sampai muncul tuntutan pemakzulan. Meski keberhasilan kebijakan berbasis viralitas tidak selalu berujung perubahan nyata, upaya advokasi setidaknya membuahkan hasil ketika semua isu yang didengungkan warga ditanggapi oleh pemerintah. Ini bisa dianggap sebagai kemenangan publik.
Kapan 'Viral-Based Policy' Menjadi Masalah?
Viral-based policy menjadi masalah ketika pemerintah terlalu bergantung pada riuh media sosial tanpa memiliki data memadai dalam penetapan kebijakan. Riset independen dari luar pemerintah seharusnya dilibatkan untuk memperkuat basis data kebijakan, bukan hanya riset internal kementerian yang rentan berpihak.
Contohnya adalah kasus penambangan nikel di Raja Ampat. Kelompok masyarakat sipil dan organisasi lingkungan seperti Greenpeace Indonesia sudah memberikan peringatan atas kerusakan lingkungan yang berdampak pada konflik horizontal warga. Data Konservasi Indonesia juga menyebutkan bahwa penambangan nikel di Raja Ampat bisa menyebabkan kerugian ekonomi akibat hilangnya pariwisata sebesar US$52,5 juta atau sekitar Rp854 miliar. Namun, pemerintah tetap memberikan izin tambang. Ini terjadi karena pemerintah tidak melihat data riset dalam pembuatan kebijakan.
Setiap kementerian memang memiliki unit riset (litbang), tetapi riset tentang analisis kebijakan di sektor publik menunjukkan adanya keberpihakan masing-masing kementerian/lembaga untuk hanya berpangku pada riset internal kementerian. Di sinilah riset organisasi di luar pemerintahan dapat berperan untuk memperkaya data dan menunjukkan kondisi serta risiko yang sebenarnya.
Memberi Ruang pada Viralitas
Di tengah proses politik yang sering sarat kepentingan, memberi ruang bagi kebijakan berbasis viralitas justru bisa bermanfaat. Kebijakan teknokratik juga tidak selalu ideal, apalagi jika data di lapangan masih berantakan. Belum lagi data pemerintah yang kerap dijadikan alat politik untuk kepentingan tertentu.
Isu yang viral bisa menjadi pintu masuk agar pemerintah lebih terbuka pada fakta baru. Dalam kasus tambang Raja Ampat, misalnya, Greenpeace dan koalisi memberikan data dan bukti terkait kerusakan lingkungan dan biaya ekonomi akibat tambang nikel. Hal tersebut seperti memberikan pemerintah bukti baru yang sebelumnya belum pernah diselami, atau yang sebelumnya enggan didengar.
Melelahkan bagi Masyarakat Sipil?
Memang melelahkan jika publik yang harus terus-menerus menyediakan data, memviralkan isu, dan menuntut pemerintah untuk memperbaiki kebijakan. Bukankah itu semua adalah tugas para petinggi negara? Namun, tampaknya publik sudah beradaptasi menjadi bagian dari kekuatan sipil untuk terus melakukan monitoring atau pemantauan kebijakan.
Tugas besar pemerintah saat ini adalah menyelaraskan kebijakan dengan aspirasi masyarakat sipil, serta tidak menutup mata terhadap data dan fakta sesungguhnya. Viralitas bisa dijadikan pijakan awal, tetapi keputusan tetap harus bertumpu pada bukti kuat. Harapannya, viralitas bisa membuka ruang dialog dan pertukaran data dengan masyarakat sipil untuk pembuatan kebijakan yang lebih berdasarkan bukti.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!