
Pemangku Kepentingan 14 Proyek Perdagangan Karbon Mulai Bertransisi ke Skema Pasal 6.4 Paris Agreement
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah mengumpulkan para pemangku kepentingan dari 14 proyek perdagangan karbon yang akan beralih ke skema Pasal 6.4 dari Paris Agreement atau dikenal juga sebagai Paris Agreement Crediting Mechanism (PACM). Sebelumnya, proyek-proyek ini berjalan berdasarkan mekanisme Clean Development Mechanism (CDM) dari Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2020.
Tenggat waktu untuk mengajukan permohonan transisi ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dibatasi hingga 31 Desember 2025. Namun, hingga saat ini hanya satu dari 14 proyek tersebut yang telah menyelesaikan proses transisi.
Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH, Ary Sudijanto, menyatakan bahwa pihaknya akan mendorong seluruh proyek untuk melanjutkan proses transisi. “Ternyata 14 proponent ini memiliki niat (bertransisi), ya kami akan meneruskan,” ujarnya usai rapat dengan para penanggung jawab proyek di Jakarta, Jumat (12/9).
Volume Karbon yang Diperdagangkan Mencapai 4,8 Juta Ton CO2e
Ary menjelaskan bahwa total volume karbon yang akan diperdagangkan dari 14 proyek tersebut mencapai 4,8 juta ton CO2e. Meskipun demikian, nilai transaksi belum bisa ditentukan karena setiap proyek memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Perdagangan karbon ini akan menggunakan skema private to private, yang dinilai sebagai salah satu pendorong investasi di pasar karbon. Dengan mengikuti skema Pasal 6.4 Paris Agreement, Indonesia kini menjadi negara yang berkewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca.
“Sebelumnya, Indonesia hanya menjadi supplier negara berkewajiban. Sekarang kita termasuk negara yang diwajibkan,” ujar Ary. Ia menambahkan bahwa kewajiban ini tergambar dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (NDC). Sampai saat ini, dokumen tersebut sudah selesai disusun. Namun, masih ada beberapa catatan perbaikan yang harus dilakukan.
Dokumen NDC ini hanya menunggu persetujuan dari Presiden Prabowo Subianto sebelum dikirim ke UNFCCC menjelang COP30. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam memenuhi target pengurangan emisi sesuai dengan kesepakatan global.
Tantangan dan Peluang di Pasar Karbon
Selain itu, beberapa isu penting juga muncul dalam konteks pasar karbon di Indonesia. Misalnya, pemerintah sedang melakukan perhitungan terhadap volume karbon yang diserap oleh kebun sawit. Hal ini menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan akurasi data dan transparansi dalam perdagangan karbon.
Di sisi lain, Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut adanya kesenjangan antara permintaan dan pasokan kredit karbon di Indonesia. Hal ini menunjukkan potensi pertumbuhan pasar karbon yang cukup besar, tetapi juga membutuhkan penyesuaian regulasi dan infrastruktur yang lebih matang.
Selain itu, beberapa perusahaan besar seperti APP Group juga mulai mempertimbangkan masuk ke pasar karbon. Ini menunjukkan bahwa sektor swasta semakin sadar akan pentingnya pengurangan emisi dan keberlanjutan lingkungan.
Langkah Strategis untuk Menghadapi Perubahan Iklim
Komitmen Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim tidak hanya terlihat dari transisi proyek perdagangan karbon, tetapi juga dari berbagai langkah strategis yang diambil oleh pemerintah. Dari sisi regulasi, kebijakan-kebijakan yang diterbitkan bertujuan untuk memastikan bahwa semua pihak terlibat dalam upaya pengurangan emisi.
Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting dalam menjaga keberlanjutan program ini. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan transparan, diharapkan pasar karbon dapat berjalan lebih efektif dan memberikan manfaat yang nyata bagi lingkungan dan ekonomi nasional.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!