
Tradisi Sanghyang Dedari yang Menyimpan Keajaiban dan Makna Mendalam
Di Banjar Behu, Desa Bungamekar, Kecamatan Nusa Penida, Bali, suara alunan kidung perlahan mengalun dari para ibu-ibu. Tarian ini tidak hanya sekadar tarian biasa, tetapi merupakan ritual sakral yang telah hidup selama ratusan tahun. Dalam keadaan tertentu, seorang anak perempuan muda akan memejamkan mata dan mulai menari mengikuti alunan tembang tersebut. Gerakan yang dilakukannya terlihat luwes dan sederhana, namun penuh magis.
Seolah tubuh mungil itu menjadi medium para bidadari yang turun dari kahyangan. Inilah yang disebut dengan Sanghyang Dedari, sebuah tarian sakral yang memiliki makna mendalam bagi masyarakat setempat. Bagi warga Banjar Behu, tarian ini adalah bentuk hadirnya berkah para dewa. Mereka percaya bahwa Sanghyang Dedari menjadi ritual untuk menetralisir aura negatif, sehingga keseimbangan dalam desa dapat terjaga.
"Jika tradisi ini terputus, diyakini akan membawa dampak buruk bagi warga," ujar Kelihan Adat Banjar Behu, Nyoman Partha. Ia menegaskan bahwa tarian ini masih dipertahankan secara konsisten hingga saat ini. Uniknya, Sanghyang Dedari hanya dimainkan oleh anak-anak perempuan yang belum akil balig (dehe). Mereka dipercaya sebagai perantara suci yang murni, sehingga layak menjadi medium turunnya bidadari.
Gerakan yang mengalir tanpa latihan lebih lanjut semakin memperkuat kesakralan tarian ini. "Kami masyarakat Banjar Behu, terus bertekad untuk melestarikan tradisi ini," tambah Nyoman Partha.
Upaya Melestarikan Tradisi dengan Pengakuan Resmi
Sanghyang Dedari kini sedang diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan resmi sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. Dinas Kebudayaan Klungkung bersama tim pengkaji melakukan kajian mendalam di Pura Desa dan Puseh, Banjar Behu. Kepala Dinas Kebudayaan Klungkung, Ketut Suadnyana, menjelaskan bahwa pengusulan ini bukan hanya soal dokumentasi, tetapi juga proteksi budaya.
"Seni sakral ini harus dijaga agar tidak tergerus zaman dan tidak diklaim pihak lain. Jika lolos, peluangnya bisa melangkah lebih jauh ke UNESCO sebagai warisan budaya dunia," ujarnya. Pengusulan Sanghyang Dedari menjadi bagian dari langkah lebih besar Pemkab Klungkung.
Selain tarian sakral ini, tiga tradisi lain juga diajukan ke Kementerian Kebudayaan RI, yaitu Tradisi Mejurag Tipat di Desa Timuhun, Tradisi Nandan di Desa Gunaksa, serta kerajinan perak (Bokor) di Desa Kamasan. Semua tradisi ini diyakini menyimpan nilai spiritual sekaligus estetika yang tinggi.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa tradisi Klungkung sudah masuk daftar WBTB, seperti Barong Swari Desa Jumpai, Nyepi Segara di Kusamba, Tenun Cepuk Desa Tanglad, hingga Wayang Klasik Kamasan. Setiap tradisi yang dicatat, dibukukan, dan dilegalkan, menurut Suadnyana, akan menjadi dokumen penting bagi generasi mendatang.
"Ketika budaya dicatat, ia akan hidup selamanya. Tidak ada yang bisa mengklaim, dan kita bisa memastikan warisan leluhur tetap terjaga," tegasnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!