
Hotel Neo Gajah Mada Pontianak Telah Bayar Royalti Musik Sejak 2019
Di tengah isu royalti musik yang sedang ramai dibicarakan, khususnya oleh pelaku usaha, ada satu hotel yang sudah lebih dulu menjalankan kebijakan ini. Hotel Neo Gajah Mada Pontianak telah membayar royalti musik sejak tahun 2019, jauh sebelum polemik ini menjadi perbincangan publik.
General Manager Hotel Neo, Eksan, mengungkapkan bahwa pihaknya selalu mematuhi aturan terkait pembayaran royalti. Ia menjelaskan bahwa pembayaran tersebut dilakukan secara rutin dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. "Sejak hotel dibuka, kami sudah mengurus dan menerima tagihan royalti. Jadi, dari tahun 2019 hingga saat ini, kami tetap melakukan pembayaran," ujarnya.
Royalti adalah bentuk pembayaran yang diberikan kepada pemilik hak kekayaan intelektual seperti hak cipta, paten, atau merek dagang. Pembayaran ini biasanya dilakukan dalam bentuk persentase dari pendapatan atau berdasarkan jumlah penggunaan aset tersebut.
Biaya Royalti Musik Capai Rp6 Juta Per Tahun
Eksan menuturkan bahwa rata-rata biaya royalti musik yang dikeluarkan oleh Hotel Neo Pontianak mencapai sekitar Rp6 juta per tahun. Penghitungan biaya tersebut didasarkan pada jumlah kamar, restoran, dan ruang publik yang tersedia di hotel.
"Hotel Neo memiliki 106 kamar. Musik merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas hotel, bahkan kami menyediakan musik di kafe," jelasnya. Menurut Eksan, pembayaran royalti bukan hanya sekadar kepatuhan, tetapi juga langkah preventif untuk menghindari masalah hukum.
"Daripada nantinya menjadi masalah panjang, kami tetap menjalani kewajiban kami. Karena memang itu adalah kewajiban, terlebih lagi ada live musik juga," tambahnya.
Kendala Akibat Minim Sosialisasi
Meskipun demikian, Eksan mengakui bahwa kebijakan royalti musik masih menimbulkan dilema bagi pelaku usaha, terutama karena minimnya sosialisasi dari pihak terkait. "Yang menjadi dilema adalah saat kami sebagai pelaku usaha tiba-tiba mendapat tagihan tanpa adanya konfirmasi atau sosialisasi terlebih dahulu," ungkapnya.
Ia menekankan pentingnya transparansi dan kejelasan aturan, terutama bagi anggota Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). "Jika sosialisasi jelas dan kebijakan sudah dipenuhi, pelaku usaha tidak akan kaget. Jadi, ada titik terang yang membuat kami lebih terarah," katanya.
Harapan Atas Regulasi yang Jelas
Lebih lanjut, Eksan menyoroti perlunya regulasi yang jelas dan proporsional, terutama bagi UMKM. Menurutnya, hotel berbintang memang wajar dikenakan biaya, namun berbeda dengan UMKM kecil yang hanya memutar musik untuk menarik pengunjung.
"Kalau untuk hotel mungkin wajar, tapi kalau UMKM yang sekadar hidupin musik lalu kena tagihan, kan kasihan juga. Harapan saya semoga cepat ada titik terang, regulasinya jelas, tujuannya benar, dan tidak lagi simpang siur," pungkasnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!