
Pembangunan dari Pinggiran: Potensi Desa dalam Gerakan OVOP
Pembangunan sering kali diarahkan ke kota-kota besar, sementara desa-desa yang menjadi akar budaya dan sumber bahan baku utama sering kali dibiarkan berjalan lambat. Banyak program yang lahir dari niat baik, tetapi banyak pula yang berhenti di tengah jalan. Masalahnya terletak pada paradigma pembangunan yang tidak tepat. Alih-alih membebaskan desa dari ketertinggalan, banyak inisiatif justru menjebaknya dalam pencitraan tanpa pijakan struktural.
Di tengah kegamangan ini, Program One Village One Product (OVOP) di NTT hadir sebagai angin segar. Gagasan ini menjanjikan arah baru: dari pinggiran, desa mengambil peran utama. Desa menjadi pusat inovasi dan motor penggerak ekonomi daerah. Saya sendiri mengapresiasi program ini, tetapi yang paling penting bukan hanya apakah program itu ada, melainkan bagaimana ia dijalankan dan untuk siapa. Apakah OVOP benar-benar mendorong desa menjadi pelaku utama ekonomi lokal, atau hanya menempatkan mereka sebagai etalase eksotis untuk konsumsi pasar kota?
Membangun Ekonomi dari Pinggiran
Membangun dari pinggiran bukanlah pekerjaan mudah. Desa-desa di NTT masih menghadapi banyak tantangan, seperti infrastruktur yang minim, akses pasar yang terbatas, dan modal yang sangat terbatas. Masalah-masalah ini membuat desa tetap tertinggal dalam arus besar pembangunan nasional. OVOP ditantang untuk mampu menyesuaikan diri dengan realitas kompleks ini.
Masalah utama kita selama ini adalah keterputusan struktural. Desa punya produk, tapi tidak punya pasar; punya kearifan, tapi tidak punya kemasan; punya semangat, tapi tidak punya jejaring. OVOP hadir menjahit keterputusan itu dengan pendekatan holistik yang menyatukan potensi, identitas, dan strategi promosi dalam satu ekosistem. Ini gerakan ekonomi yang sekaligus menempatkan desa setara dalam narasi pembangunan.
Jika kita ingin belajar dari praktik terbaik, Jepang adalah rujukan yang tak bisa diabaikan. OVOP pertama kali digagas di Prefektur Oita oleh Gubernur Morihiko Hiramatsu pada 1979. Prinsip dasarnya sederhana namun revolusioner: satu desa, satu produk khas, berbasis sumber daya lokal, dengan daya saing global. Hasilnya nyata. Dari produk seperti miso Yufuin, sake Oita, hingga kerajinan bambu Beppu kini tak hanya menjadi ikon lokal, tetapi juga ekspor bernilai jutaan dolar.
Kuncinya ada pada konsistensi kebijakan, dukungan pelatihan, serta penguatan narasi budaya sebagai nilai jual. NTT memang berbeda dari Oita, tetapi bukan berarti tak bisa meniru keberhasilannya. Yang dibutuhkan adalah keberanian mengembangkan OVOP sebagai gerakan ekonomi yang terhubung dengan budaya dan identitas.
Perkuat Narasi Identitas
Untuk memperkuat gerakan OVOP, perlu sistem kolaboratif yang apik. Cerita, identitas, dan sejarah desa harus menjadi kekuatan utama dalam membangun merek produk lokal. Ini bukan sekadar soal pemasaran, tetapi cara baru melihat desa bukan sebagai objek produksi, melainkan sebagai subjek budaya yang bernilai.
Selama ini, yang sering terabaikan adalah kekuatan simbolik dari asal-usul produk itu sendiri. Ketika narasi desa diangkat dan diorganisasi secara kolektif, maka produk tidak hanya dibeli karena bentuknya, tetapi karena makna yang dibawanya. Ekosistem narasi ini harus melibatkan tiga aktor utama: masyarakat desa sebagai penjaga memori kolektif, akademisi sebagai penerjemah identitas, dan pemerintah sebagai fasilitator ruang-ruang interaksi lintas aktor.
Dengan sinergi ini, desa tidak sekadar memproduksi barang, tetapi juga membangun bahasa dan nilai-nilai yang memperkuat daya tawar mereka di pasar. Contohnya, bukan hanya menjual kopi dari Bajawa, tetapi menceritakan bagaimana kopi itu ditanam dalam ritual adat, dipanen dengan gotong royong, dan disangrai oleh generasi yang menjaga rasa dan tradisi.
Inilah yang membuat produk lokal tak tergantikan oleh pabrikan besar: ia lahir dari tempat, waktu, dan komunitas yang otentik. Jika pemerintah daerah benar-benar ingin OVOP berumur panjang dan berdampak luas, maka membangun ekosistem narasi desa harus dijadikan fondasi utama. Sebab hanya lewat cerita yang hidup dan terhubung, desa bisa berdiri sejajar dengan pasar. Bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai pemilik panggung.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!