Pandangan: Penulis Harapan yang Berkunjung

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Pandangan: Penulis Harapan yang Berkunjung

Pengalaman Transformatif dalam Perayaan Yubelium 2025

Di pagi yang panas musim panas di Tor Vegata, pinggir timur Roma, saya melihat Corinna Oeß dan Klara Lehmann, dua gadis Jerman yang tekun menulis di tengah kerumunan ratusan ribu orang muda dari 146 negara yang mengikuti perayaan Yubelium 2025. Tema yang diangkat adalah "Peziarah Harapan". Mereka sepertinya sedang menjawab beberapa pertanyaan dari Paus Leo XIV. Pertanyaannya antara lain: Apa itu kebahagiaan sebenarnya? Apa cita rasa kehidupan yang sesungguhnya? Dan apa yang membebaskan kita dari rawa-rawa omong kosong, kebosanan, serta biasa-biasa saja?

Saya yakin bahwa seperti saya dan ratusan ribu anak muda lainnya, Corinna dan Klara memiliki pengalaman transformatif yang indah. Itulah pengalaman penebusan, pengalaman iman akan kebangkitan dan peneguhan kembali harapan. Kedamaian, sukacita, dan belaskasihan bukan lagi hanya pengharapan, tetapi kepenuhan, dan itulah keutamaan Kristiani.

Paus Leo XIV menekankan bahwa untuk menjawab dan memaknai keberadaannya, seseorang tidak hanya tergantung pada apa yang dikumpulkan, yang dimiliki, yang dikonsumsi, atau yang dikoleksi. Membeli, mengumpulkan, dan mengonsumsi tidak cukup memberikan makna dan menemukan arti ziarah hidup. Namun, keberadaan seseorang melekat pada apa yang diterima dan yang dibaginya dengan sukacita. Ia harus mengangkat pandangan dan memperhatikan hal-hal surgawi.

Paulus berkata kepada Jemaat di Kolose, "sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Ampunilah seorang akan yang lain, kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah."

Ajaran Paulus ini mendapat tantangan tersendiri di tengah zaman kebencian, kemurkaan, kecemasan, dan masalah darurat kemanusiaan beriringan dengan kemajuan teknologi canggih ini.

Sementara mengikuti Misa di Tor Vegata itu, saya bergelut dengan dunia pemikiran saya sendiri. Saya berpikir bahwa tidak sedikit orang tidak mengenal agama, dan tidak memiliki gambaran tentang Allah bukan karena kurang atau tidak adanya para pewarta. Persoalannya sekarang adalah manusia sudah kehilangan rasa bersalah dan berdosa kalau melakukan kejahatan di tengah gerakan normalisasi kejahatan, dan tidak lagi membutuhkan keselamatan eskatologis sebagaimana yang diajarkan oleh agama Katolik.

Kita hidup di dunia yang runtuh dan benar-benar berantakan akibat serangkaian masalah besar dan sistem dominasi negara-negara adidaya yang mempercepat kehancuran. Kapitalisme neoliberal menciptakan kompetisi di dunia kerja, produksi, dan konsumsi, dan memerintah masyarakat harus selalu bekerja. Siapa yang tidak bekerja, tidak layak hidup. Siapa yang berani hidup, harus bekerja sesuai jam kerja, upah atau gaji, aturan, sistem, dan kuasa-kendali pemilik pekerjaan.

Kemiskinan struktural dan kesenjangan yang terus melebar di antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin, dan selalu menimbulkan kondisi tidak sehat, yang mempengaruhi mayoritas masyarakat miskin di seluruh dunia. Negara-negara kaya sengaja menciptakan krisis di negara-negara miskin, kemudian di saat negara-negara miskin sedang dalam katastrofe atau bencana besar, negara-negara kaya datang sebagai penyelamat dengan menawarkan makanan, pakaian, senjata, dan alat bantu perang lainnya.

Mereka juga akan membeli para perempuan dan anak-anak korban peperangan yang mereka ciptakan, diperlakukannya sebagai budak kerja di perusahaan atau domestik, setelah menjadi budak seks. Komoditisasi kehidupan, objektifikasi manusia, dan dehumanisasi musuh.

Berkembang biaknya dan menguatnya fasisme sosial dan politik, dengan konsekuensi melemahnya proses demokrasi dan bahkan bahaya eliminasinya. Selain itu mati suri demokrasi, yang tunduk pada kediktatoran kapitalisme neoliberal, populisme, dan pemerintahan teknokratis, yang mengakibatkan sebagian besar warga negara muak, dan anti-politik, sebagaimana yang terjadi baru-baru ini di Indonesia, dan beberapa negara lain.

Kelangsungan hidup kapitalisme dalam versi ultra-neoliberalnya yang diterjemahkan menjadi nekropolitik dan nekrokapitalisme, menentukan siapa yang harus hidup dan siapa yang harus mati. Imperialisme budaya, yang menganggap budaya Barat sebagai acuan bagi semua budaya lain dan mengarah pada penghancuran pengetahuan masyarakat adat.

Di sisi lain, benturan peradaban, yang menganggap dialektika kawan-musuh dalam hubungan antarmanusia sebagai hukum sejarah seleksi alam, dan menghalangi terjadinya dialog antarbudaya. Dominasi patriarki masih seolah-olah secara legal bertahan melalui kekuatan hegemoni maskulinitas yang membenarkan diskriminasi gender dan menyebabkan kekerasan terhadap perempuan, bersekutu dengan sistem dominasi lainnya, serta interseksionalitas diskriminasi terhadap perempuan dan merosotnya feminisme dalam pendidikan dan di kalangan kaum muda.

Fundamentalisme agama yang menyebabkan perang agama yang menghancurkan kehidupan manusia, dan membenarkannya kejahatan itu atas nama Tuhan. Ditemukan juga xenofobia, rasisme dan aporophobia terhadap masyarakat miskin, kelompok migran, pengungsi, dan orang terlantar, yang sering berujung pada praktik kekerasan.

Namun di tempat lain, praktik penyembahan berhala, yang saat ini berupa penyembahan bukan kepada anak lembu emas, tetapi kepada kebangkitan agama-agama, yang seringkali bersifat patologis. Munculnya Kristen-fasisme sebagai agama baru dengan banyak pengikut. Ini dibangun dari aliansi antara kelompok sayap kanan politik dan budaya, yang didukung oleh neoliberalisme, dan gerakan-gerakan Kristen fundamentalis, yang didukung oleh para pemimpin Kristen fundamentalis, dan diterjemahkan menjadi ujaran kebencian.

Pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis oleh negara dan lembaga internasional yang memiliki target untuk memastikan penaklukan dan menciptakan ketergantungan. Narasi perang, yang mendiskualifikasi bahasa dan praktik pasifis dan mengutamakan wacana dan praktik konfrontasi bersenjata.

Selain perdagangan manusia, turisme seksual, bisnis industri seksual, pornografi, judi, game online, pinjaman online, juga perdagangan senjata dan bom menjadi bisnis legal internasional. Kolonialisme dan neo-kolonialisme, yang kelangsungan hidupnya, bahkan setelah proses kemerdekaan, diterjemahkan ke dalam kolonialitas keberadaan, kepemilikan, dan kekuasaan.

Ini digerakan begitu cepat tingkat geopolitik dalam rupa teknologi canggih, robot, senjata, ponsel pintar, komputer, alat-alat kesehatan, ilmu pengetahuan, makanan cepat saji, dan obat-obatan. Pengerukan dan penghancuran alam yang telah menjadi tempat pembuangan sampah, yang berujung pada kejahatan ekologi melalui ekstraktivisme dan sistem eksploitasi lainnya.

Beberapa dekade terakhir adalah kekerasan digital, tidak hanya dilakukan oleh para pelaku ekonomi digital, buzzer politik, propaganda dan demogogi radikalisme agama, tetapi juga oleh netizen biasa. Kekerasan digital tidak hanya dilakukan melalui ancaman, tetapi dengan cara halus, yang dapat menghabiskan uang di bank, dan nyawa sesama.

Jika orang Katolik tidak ingin terjerumus ke dalam ketidakrelevanan sosial, budaya, ekonomi, dan politik, serta kehilangan makna dalam keruntuhan dan berantakan dunia yang sedang kita alami, dan orang Katolik ingin menyampaikan pesan harapan di tengah kegelapan masa kini, maka orang Katolik harus menjadi pembebas bagi orang-orang yang paling rentan, kelompok miskin dan orang-orang tertindas.

Orang Katolik mesti kontra-hegemoni dan kritis terhadap imperialisme dan neo-imperialisme. Alter-globalisasi, yang merangkul mereka yang dikucilkan dan dialienasi oleh globalisasi neoliberal dan mempraktikkan “makan bersama” di mana perbedaan dalam pangkat dan kelas sosial menghilang. Menjadi orang Katolik dekolonial, yang tidak memaksakan konsepsi Barat atau kebudayaan dominan pada budaya lain, dan beraliansi dengan kaum kiri eko-sosialis alternatif dan gerakan-gerakan sosial.

Harus menjadi orang Katolik yang ekologis, yang mencintai, melestarikan dan merawat Bumi, dengan tekad yang sama dengan yang membela martabat dan hak-hak manusia. Berkomitmen pada perdamaian yang berlandaskan keadilan, kebenaran dan kejujuran hati nurani. Hingga saat ini, teologi perang yang adil telah dikembangkan, yang telah melegitimasi sistem dominasi. Sudah saatnya orang Katolik mengembangkan Peologi Perdamaian.

Orang Katolik harus berkomitmen terhadap praktik demokrasi deliberatif, dan yang mengakui dan menghormati identitas budaya asli dalam dialog dan setara dengan identitas budaya lainnya. Bukan yang bersifat komersialisme, melainkan menjadi umat beriman yang mengakui kemajemukan agama dan ilmu pengetahuan dan cara hidup di dalamnya. Orang Katolik harus anti penyembahan berhala, terhadap uang, harta dan senjata yang diubah menjadi Tuhan.

Minggu 3 Agustus 2025 itu, saya tidak sempat menerima Komuni Suci, karena tidak bisa konsentrasi saat misa. Saya memperhatikan Corinna dan Klara, seperti orang Jerman pada umumnya, terus menulis dan menciptakan istilah baru. Menulis itu seolah-olah menarik diri dari kehidupan. Tetapi untuk menulis, kita harus hidup, bukan? Elvira Lindo dalam bukunya Manolito Gafotas, berkata, “Hal-hal penting dalam kehidupan tidak dipahami dalam buku-buku, tetapi di jalan raya. Namun harus membaca nuku supaya bisa paham apa yang terjadi di jalan raya.”

Saya menyadari betapa saya harus terlebih dahulu menceburkan diri ke dalam kehidupan, melupakan menulis, lalu menceburkan diri ke dalam tulisan, melupakan kehidupan. Menulis menciptakan ketegangan demi ketegangan, tetapi ia selalu menebus dan membebaskan. Kitab Suci, Tradisi, Dogma, Ajaran Sosial Gereja, dan sejarah dunia ditulis, tidak mengandalkan ingatan atau cerita lisan. Kejahatan dan peperangan akan terus dinormalisasi kalau tidak ditulis, meskipun tulisan tidak sepenuhnya mampu mengantisipasi atau menghentikan kejahatan dan peperangan.

Tulisan akan menebus dan membebaskan ketika ia menyampaikan kebenaran sejarah tanpa dominasi kapitalisme neoliberal dan kepentingan rezim politik. Selama beberapa tahun saya tidak mempunyai satu pun buku yang saya tulis dengan tangan saya sendiri. Inilah kecelakaan terbesar dalam sejarah hidup saya. Tapi saya belajar dari Corrina dan Klara bahwa ketika terjadi kejadian yang membahagiakan, saya harus menulisnya agar saya dapat mengenangnya; ketika terjadi peristiwa yang buruk/malang, saya harus menulisnya agar saya bisa mengatasinya; dan ketika tidak terjadi apa-apa pun, saya harus tetap menulisnya supaya ada kejadian hari itu.

Saya pikir inilah salah bentuk cara peziarah merayakan kehidupan dan mewujudkan pengharapan. Dan Anda, kawan, kapan memulai menulis? Kehidupan kita sama, tetapi cerita kita berbeda!