
Pemerintah Dukung Konsep Satu Orang Satu Akun di Media Sosial
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyambut baik wacana pembatasan kepemilikan akun media sosial menjadi satu akun untuk satu orang. Gagasan ini dinilai sejalan dengan upaya pemerintah menciptakan ruang digital yang lebih sehat, aman, dan bertanggung jawab.
Sekretaris Jenderal Komdigi Ismail menjelaskan bahwa filosofi di balik gagasan tersebut adalah mencegah penyalahgunaan identitas di dunia maya. Menurutnya, salah satu sumber masalah dalam ruang digital adalah ketika seseorang bisa menyembunyikan jati diri melalui akun ganda atau anonim.
“Kesempatan melakukan pelanggaran muncul saat orang masuk ke ruang digital tanpa diketahui identitas aslinya. Mereka bisa berpura-pura ‘ini bukan saya’. Dari sinilah mudah timbul godaan untuk menyebar konten negatif atau melakukan tindakan melanggar hukum,” ujar Ismail dalam acara Coffe Morning bersama wartawan di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat, 19 September 2025.
Ismail menilai, penerapan konsep satu orang satu akun akan membuat setiap individu tetap bertanggung jawab atas aktivitasnya di media sosial. Untuk itu, diperlukan mekanisme identifikasi digital yang kuat, seperti penggunaan digital ID yang dilengkapi dengan verifikasi wajah, sidik jari, atau biometrik lain.
“Dengan begitu, orang tetap menjadi dirinya ketika masuk ke ruang digital. Alat ini bisa mendorong tanggung jawab dan menekan penyalahgunaan,” kata Ismail.
Meski demikian, Ismail menegaskan bahwa wacana ini masih dalam tahap pembahasan. Pemerintah terus mendiskusikan berbagai opsi yang memungkinkan rencana tersebut dapat dijalankan secara efektif.
Wacana menerapkan akun tunggal media sosial pertama kali mencuat dalam rapat Komisi I DPR pada 15 Juli 2025. Saat itu, anggota Komisi I DPR Oleh Soleh mengusulkan agar platform media sosial membatasi kepemilikan akun. Menurut dia, akun ganda kerap disalahgunakan untuk kepentingan yang merugikan masyarakat.
“Baik di YouTube, Instagram, TikTok, akun medsos ganda ini, kan, pada akhirnya disalahgunakan, bukan mendatangkan manfaat bagi masyarakat, bagi pemakai yang asli,” ujar Oleh dalam rapat yang dihadiri perwakilan Google Indonesia, YouTube Indonesia, TikTok Indonesia, hingga Meta yang menaungi Facebook, Instagram, serta WhatsApp.
Oleh tak menampik bahwa di sisi lain penggunaan lebih dari satu akun mungkin menguntungkan bagi platform. Namun ia berpendapat dampak negatifnya lebih besar. “Secara umum, 100 persen saya rasa akun ganda ini justru malah menjadi ancaman dan bahkan merusak,” katanya.
Ia mencontohkan maraknya kemunculan pendengung atau buzzer, lantaran jumlah akun di medsos tidak dibatasi. “Bagaimana ini akibat buzzer, orang yang enggak qualified jadi terkenal, menjadi artis, menjadi wah, menjadi super dan dia malah mengalahkan orang yang qualified, kan juga sangat merusak,” ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Namun sejumlah pengamat menilai gagasan ini keliru dan bisa membatasi kebebasan berkespresi. Dewan Pengawas SAFEnet Shita Laksmi berpendapat, kepemilikan banyak akun tidak selalu negatif.
Warganet, kata dia, kerap memakainya untuk ekspresi pribadi, berjualan, atau pekerjaan tertentu. Di lain sisi, ia mengingatkan validasi dengan nomor induk kependudukan akan bertentangan dengan prinsip perlindungan data pribadi, seperti yang pernah terjadi pada registrasi kartu SIM prabayar. “Seharusnya hanya data yang benar-benar diperlukan yang boleh dikumpulkan,” katanya.
Pemerhati budaya dan komunikasi digital Firman Kurniawan menilai harusnya pemerintah melihat persoalan yang lebih krusial, seperti kejelasan identitas pemilik akun, bukan jumlahnya. "Sehingga jalan tengahnya adalah tercantumnya identitas jelas atau asli dari pemilik akun, dengan sejumlah akun yang dimilikinya,” kata Firman ketika dihubungi Tempo, Senin, 21 Juli 2025.
Dosen Universitas Indonesia ini menilai pembatasan jumlah akun akan sulit ditegakkan, apalagi di era digital yang memungkinkan seseorang memiliki akun berbeda untuk berbagai keperluan, seperti bisnis, pendidikan, atau aktivitas pribadi. Sebagai solusi, Firman mendorong adanya regulasi yang mewajibkan setiap akun mencantumkan identitas asli pemiliknya.
“Dengan identitas yang jelas akan mendorong pemiliknya menggunakan media sosial lebih etis, bahkan mencegahnya dari penggunaan akun yang melanggar hukum,” tuturnya. “Jadi kata kuncinya bukan jumlah akun, tapi kejelasan siapa pemiliknya. Itu justru yang saya ingin tekankan dan usulkan kepada negara ini.”
Firman mencontohkan kebijakan pendaftaran nomor telepon dengan NIK beberapa tahun lalu yang mampu menekan penyalahgunaan. Menurutnya, logika serupa bisa diterapkan untuk akun digital. “Walaupun jumlahnya banyak, kalau identitasnya jelas, sebetulnya dengan mudah ketika itu disalahgunakan dapat terlacak,” katanya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!