
Sidang Kedua Kasus Korupsi Dana Hibah GMIM, Saksi Menghadapi Peneguran dari Hakim
Dalam sidang kedua kasus dugaan korupsi dana hibah dari Pemprov Sulut kepada Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), tiga oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov Sulut menjadi saksi. Sidang digelar di ruang sidang Prof Dr Muhammad Hatta Ali SH MH di Pengadilan Negeri Manado, Jalan Prof. Dr. Mr. Raden Soelaiman Efendi Koesoemah Atmadja, Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), pada Rabu (10/9/2025).
Ketiga saksi tersebut adalah Melky Matindas, Jimmy Pantouw, dan Ferni Karamoy. Mereka hadir sebagai saksi dari Kejaksaan Tinggi Sulut untuk terdakwa Jefry Korengkeng, AGK, dan Hein Arina. Namun, kesaksian mereka dinilai tidak konsisten dan menimbulkan kekecewaan.
Hakim Ketua Achmad Peten Sili sering kali menegur Melky karena pernyataannya yang tidak jelas dan tidak konsisten. Dalam salah satu momen, hakim bahkan menyebut bahwa Melky seharusnya menjadi terdakwa. "Saya sudah peringatkan saksi agar ngomong apa adanya, jangan dusta-dusta, nanti susah sendiri," kata Achmad Peten Sili.
Melky dalam kesaksiannya menyebut bahwa pencairan dana hibah tidak sesuai prosedur dan bermasalah dalam perencanaan serta penganggaran. Ia mengungkapkan bahwa pada 2019 tidak ada proposal yang masuk untuk dana hibah dari GMIM, namun tetap dianggarkan pada 2020. Saat itu, Melky menjabat Kabid Aset di BKAD Pemprov Sulut. Ia juga menyampaikan bahwa pencairan dana terpaksa dilakukan berdasarkan arahan pimpinan.
Saksi Jimmy Pantouw juga mengaku bahwa tidak ada pengajuan proposal dari Sinode GMIM pada 2019 terkait dana hibah. Hal ini membuat penganggaran dana hibah ke GMIM pada 2020 menjadi sebuah kejanggalan.
Sementara itu, saksi Ferni Karamoy mengaku mendapat petunjuk lisan dari terdakwa Jefry Korengkeng untuk mencairkan dana hibah. Pengacara terdakwa AGK, Frangky Weku, menilai kesaksian Melky sangat tidak konsisten dan mengusulkan agar saksi tersebut dijadikan terdakwa.
Kelalaian dalam Pengelolaan Dana Hibah
Fakta-fakta terkait kasus korupsi dana hibah GMIM mulai terungkap. Kelalaian dalam proses pengelolaan dana yang menyebabkan negara mengalami kerugian mencapai Rp 8,9 miliar akhirnya terkuak. Hal ini terungkap dalam dakwaan terhadap terdakwa Hein Arina dalam sidang perdana kasus ini yang digelar pada Jumat, 29 Agustus 2025.
Pada 21 Desember 2020, Gubernur Sulawesi Utara saat itu, Olly Dondokambey, bersama terdakwa Pdt. Hein Arina, Th.D., selaku Ketua Sinode GMIM saat itu, menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) Nomor 606/SPM-LS/Hibah/XII/2020 senilai Rp1,5 miliar. Hein Arina juga turut menandatangani Surat Pernyataan Tanggung Jawab Penggunaan Hibah Uang Tahun 2020 dan Pakta Integritas pada momen yang sama.
Dana hibah tersebut rencananya digunakan untuk pembangunan RS GMIM Siloam Sonder, fasilitas di Kaupusan Langowan, Tonsea Airmadidi, Jemaat Bukti Sion Kanonang, serta sarana-prasarana lain. Sehari setelahnya, 22 Desember 2020, administrasi pencairan dilengkapi oleh sejumlah pejabat terkait hingga akhirnya BKAD Sulut menerbitkan SP2D senilai Rp1,5 miliar dan langsung ditransfer ke rekening Sinode GMIM di Bank SulutGo.
Namun, jaksa menyebut bahwa Hein Arina tidak dapat mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut. Hingga batas waktu yang ditentukan, Sinode GMIM tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban resmi ke BKAD Provinsi Sulut. Situasi ini membuat saksi-saksi dari BKAD, di antaranya Jeffry Robby Korengkeng, Melky W. Matindas, dan Ferny Karamoy, mendatangi Sinode GMIM untuk meminta klarifikasi.
Ancaman Hukuman bagi Terdakwa
Dalam berkas dakwaan yang diperoleh, kelima tersangka diduga telah memperkaya diri, orang lain hingga korporasi sehingga menyebabkan kerugian negara sebagaimana perhitungan auditor BPKP. Untuk perbuatan tersebut mereka diancam pidana dalam pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah Undang-Undang republik Indonesia no 20 tahun 2021 tentang perubahan atas undang undang republik indonesia no 31 tahun 1999.
Ancaman kurungan penjara paling lama 20 tahun, denda paling banyak Rp 1 miliar. Selain itu, dapat dikenakan pidana tambahan berupa perampasan aset hasil korupsi, pembayaran uang pengganti kerugian negara atau penutupan perusahaan serta pidana penjara pengganti jika uang pengganti tidak dibayar. Pidana tambahan ini berlaku sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UU Tipikor.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!