Peluang Besar Industri Antariksa untuk Indonesia
Indonesia memiliki peluang strategis dalam menjadikan industri antariksa sebagai motor penggerak ekonomi baru. Selain itu, sektor ini juga berpotensi memperkuat kedaulatan nasional di berbagai bidang seperti dirgantara, ketahanan pangan, pertahanan, dan teknologi. Isu ini menjadi fokus utama dalam diskusi bertema “Antariksa: Urgensi dan Relevansi untuk Indonesia” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Antariksa Indonesia (ARIKSA).
Ketua Umum ARIKSA, Adi Rahman, menyampaikan bahwa industri antariksa di kawasan ASEAN memiliki potensi besar untuk berkontribusi hingga 100 miliar USD terhadap PDB pada 2030. Dengan posisi geografisnya yang strategis di garis ekuator, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pusat peluncuran roket dan satelit.
“ARIKSA hadir sebagai wadah kolaboratif antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri. Kita harus mampu menjadi subjek, bukan hanya objek, dalam peta industri antariksa global,” ujar Adi melalui keterangan resmi.
Dewan Pengawas ARIKSA, Sofyan Djalil, menambahkan bahwa pengembangan industri antariksa tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, tetapi juga strategis bagi keamanan nasional, komunikasi, dan mitigasi bencana. Ia menegaskan bahwa kedaulatan ruang antariksa sangat penting bagi masa depan Indonesia.
“Jika kita tidak memanfaatkannya sekarang, kita akan tertinggal. ARIKSA siap menjadi mitra pemerintah dalam menyusun kebijakan yang mendukung kemajuan antariksa,” tegasnya.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, menyatakan bahwa BRIN memiliki peran besar dalam mendorong inovasi di bidang antariksa, khususnya melalui penelitian dan pengembangan (R&D). Ia menekankan pentingnya kemitraan dengan universitas dan industri dalam mengakselerasi perkembangan sektor ini.
Wakil Menteri Riset dan Teknologi serta Pendidikan Tinggi, Stella Christie, menyoroti pentingnya membuka akses pendidikan lebih merata, khususnya di luar Jawa. Ia juga mendorong jalur vokasi sebagai cara cepat menyiapkan tenaga terampil untuk pengembangan sumber daya manusia.
“Industri antariksa bukan sektor eksklusif, tapi bisa menjadi penyerap tenaga kerja besar jika dikelola dengan tepat,” katanya.
Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Tatacipta, menyampaikan bahwa pengembangan satelit melibatkan lintas disiplin ilmu seperti astronomi, geodesi, hingga telekomunikasi. ITB siap berkontribusi melalui penguatan riset dan pendidikan tinggi di bidang ini.
Kepala Dinas Komunikasi dan Elektronika TNI AU, Marsekal Pertama TNI Penny Radjendra, menyoroti pentingnya kemandirian dalam sistem satelit untuk menunjang pertahanan. Salah satu teknologi yang vital adalah Space Situational Awareness (SSA) yang memungkinkan deteksi objek dan potensi tabrakan di orbit.
Ia juga mengingatkan bahwa saat ini hanya segelintir negara yang menguasai sistem GPS, sehingga ketergantungan pihak asing bisa berisiko pada keamanan data dan sistem senjata.
“Kita sudah bicara soal green dan blue economy, tapi belum memasukkan space economy dalam arus utama pembangunan nasional. Ini saatnya kita bergerak,” tegasnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!