Regulasi Migas Dianggap Tidak Ramah Investor

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Tantangan Industri Hulu Migas Indonesia

Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan yang cukup berat. Salah satu pihak yang menyampaikan pandangan tersebut adalah Kepala Bidang Eksplorasi, Pengembangan, dan Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas, Mohammad Kusuma Utama. Ia menilai bahwa regulasi yang ada saat ini belum sepenuhnya ramah bagi investor yang ingin menanamkan modal di sektor migas nasional.

Menurut Kusuma, eksplorasi migas menjadi kunci dalam menjaga cadangan energi Indonesia. Namun, sayangnya investasi di bidang ini terus menurun. Hal ini disebabkan oleh sifat eksplorasi yang dikenal sebagai kegiatan berisiko tinggi.

“Tantangan terbesar adalah bagaimana mengundang kembali investor agar mau masuk ke fase eksplorasi. Dari eksplorasi produksi bisa didapatkan,” ujarnya dalam Forum Migas Tempo 2025 di Hotel Raffles, Jakarta Selatan, 20 Agustus 2025.

Ia menjelaskan bahwa masalah regulasi berdampak langsung pada jumlah Wilayah Kerja (WK) migas produktif yang semakin menurun. Pada tahun 2014, jumlah WK nasional sempat mencapai 320, termasuk 57 WK untuk Gas Metana Batubara (GMB). Namun, sebagian besar dari WK tersebut tidak berhasil masuk tahap produksi.

“Banyak WK yang gagal eksplorasi dan akhirnya terminasi. Tahun 2025, jumlah WK tinggal 164, terdiri dari 106 WK produksi dan hanya 45 WK eksplorasi,” tambahnya.

Kondisi ini memaksa Indonesia untuk bekerja ekstra keras agar dapat menjaga rasio penggantian cadangan (reserves replacement ratio) agar produksi tetap terjaga. Tantangan lain datang dari kondisi lapangan migas Indonesia yang sebagian besar sudah tua. Kusuma mengatakan, untuk menghasilkan volume hidrokarbon minyak bumi (PHC) yang menguntungkan, dibutuhkan lebih banyak sumur dengan biaya jauh lebih besar.

Meski demikian, Kusuma menilai Indonesia masih memiliki potensi besar. Dalam beberapa tahun terakhir, ada temuan gas signifikan seperti Geng North dan Layaran di Blok Andaman. Temuan potensi migas di dua blok itu, kata dia, sempat menempatkan Indonesia dalam lima besar dunia untuk penemuan eksplorasi gas.

Namun untuk minyak bumi, temuan besar belum muncul kembali. “SKK Migas berharap ada penemuan baru di wilayah timur Indonesia dan Blok Natuna pada tahun depan,” katanya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menambahkan bahwa regulasi menjadi salah satu hambatan terbesar bagi investor. Ia menyebut proses perizinan di sektor migas masih sangat panjang.

“Untuk satu izin saja bisa memakan waktu 3 bulan sampai 24 bulan. Padahal izin yang harus diselesaikan masih sekitar 108, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah. Bahkan, satu izin harus melewati 19 kementerian dan lembaga,” ujar Komaidi dalam kesempatan yang sama.

Ia juga menyoroti revisi Undang-Undang Migas yang tertunda sejak 2008. Padahal, revisi ini penting agar kelembagaan SKK Migas semakin kuat dan kepastian hukum bagi kontraktor lebih jelas.

Selain itu, ia menyampaikan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor energi semakin mengkhawatirkan. Produksi minyak domestik saat ini hanya 500 hingga 600 ribu barel per hari. Sementara konsumsi mencapai 1,6 juta barel per hari. “Artinya, 1,1 juta barel harus dipenuhi lewat impor, baik crude maupun produk,” katanya.

Hal serupa juga terjadi pada LPG. Komaidi menuturkan saat ini 75 persen kebutuhan nasional atau sekitar 9 juta metrik ton per tahun masih bergantung impor dari Amerika Serikat dan Timur Tengah. Kondisi ini membuat Indonesia rentan terhadap gejolak geopolitik dunia, misalnya jika jalur distribusi energi di Selat Hormuz terganggu.

Dosen Universitas Tri Sakti ini menekankan bahwa regulasi yang mudah menjadi syarat utama agar iklim investasi migas di Indonesia lebih menarik. Tanpa adanya kepastian hukum dan penyederhanaan izin, investor akan sulit menaruh modal pada eksplorasi yang berisiko tinggi.

“Yang diperlukan sekarang adalah dukungan pemerintah, terutama dari sisi legal, agar investor nyaman berusaha dan berinvestasi di Indonesia,” ujarnya.