
Mengapa Kita Terjebak dalam Begadang Sambil Scroll TikTok?
Begadang sambil menonton video TikTok bukanlah kebiasaan yang jarang terjadi. Banyak orang mengalami hal ini, bahkan tanpa menyadari bahwa di balik kebiasaan tersebut tersembunyi pola emosional yang memengaruhi perilaku kita. Fenomena ini sering disebut sebagai revenge bedtime procrastination, yaitu kebiasaan menunda tidur dengan melakukan aktivitas menyenangkan meskipun tahu akan merasa menyesal keesokan harinya.
Namun, di balik itu semua, ada lebih dari sekadar kebiasaan. Ada beberapa kebiasaan emosional yang sering kali tersembunyi di balik perbuatan kita saat malam hari. Berikut adalah tujuh di antaranya:
-
Mengejar Ledakan Kecil dari Rasa Senang
TikTok dirancang untuk memberi “ledakan” dopamin singkat—video lucu, mengejutkan, atau menginspirasi yang memberi kepuasan instan. Bagi mereka yang kesulitan mengatur emosi, kepuasan kecil ini menjadi pelarian mudah. Namun, hal ini bisa membentuk lingkaran setan: semakin malam, semakin sulit berhenti, dan pagi harinya justru merasa lelah. Akhirnya otak jadi terbiasa mencari stimulasi lebih banyak hanya untuk merasakan puas. -
Mengaitkan Istirahat dengan Rasa Bersalah
Bagi sebagian orang, menonton TikTok terasa seperti kompromi. Alih-alih benar-benar beristirahat, mereka memilih tetap “melakukan sesuatu” agar tidak merasa bersalah karena diam saja. Masalahnya, ini bukanlah istirahat yang sesungguhnya. Pikiran tetap sibuk, tubuh tidak benar-benar pulih, dan tidur semakin tertunda. Akar dari kebiasaan ini sering kali berasal dari keyakinan bahwa nilai diri hanya diukur dari produktivitas, sehingga waktu santai terasa “salah”. -
Menggunakan Distraksi untuk Menghindari Ketidaknyamanan
Malam hari biasanya jadi waktu ketika rasa cemas, kesepian, atau kekecewaan muncul ke permukaan. TikTok pun jadi pelindung dari perasaan tersebut. Masalahnya, menghindari emosi hanya membuatnya menumpuk. Mereka tidak hilang, hanya tertunda untuk muncul lagi di lain waktu. Ironisnya, jika berani menghadapi perasaan itu meski sebentar saja, justru bisa membuatnya perlahan mereda. -
Merindukan Koneksi tapi Sulit Mencari secara Nyata
Media sosial memberi ilusi kedekatan. Menonton orang berbagi cerita atau lelucon bisa terasa hangat, tapi itu bukanlah pengganti hubungan nyata. Akhirnya, rasa kesepian justru makin dalam karena hanya jadi “penonton” kehidupan orang lain. Ketika kedekatan digital dijadikan pengganti hubungan asli, keberanian untuk menjalin koneksi nyata semakin terkikis. -
Menunda Masalah Besok dengan Tetap Terjaga Hari Ini
Kadang, begadang bukan karena TikTok itu menyenangkan, melainkan karena ingin menunda menghadapi hari esok. Jika besok ada deadline, rapat sulit, atau keputusan besar, menunda tidur terasa seperti bentuk perlawanan kecil. Namun, kenyataannya masalah tetap menunggu. Hanya saja, kamu menghadapinya dengan tubuh lebih lelah dan stres yang bertambah. -
Menenangkan Kecemasan dengan Prediktabilitas
Hidup penuh ketidakpastian, dan bagi orang yang cemas, itu terasa menakutkan. TikTok menawarkan kepastian sederhana: geser layar, muncul hiburan baru. Ritmenya teratur, risikonya nol, dan selalu bisa diprediksi. Itu memberi rasa aman sementara. Tapi jika terlalu bergantung, justru membuat sulit membangun ketahanan menghadapi ketidakpastian nyata dalam hidup. -
Menukar Refleksi Diri dengan Overstimulasi
Keheningan malam sering memunculkan pikiran yang dihindari sepanjang hari—penyesalan, kekhawatiran, atau pertanyaan besar tentang arah hidup. Karena terasa berat, banyak orang memilih menenggelamkannya dengan scroll TikTok. Memang terasa lega sesaat, tapi sebenarnya ini hanya bentuk penghindaran. Sayangnya, setiap kali memilih distraksi, kesempatan untuk refleksi diri hilang. Padahal refleksi, meski tidak nyaman, adalah pintu menuju pertumbuhan dan kejelasan hidup.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!