
Komitmen Indonesia dalam Mengatasi Polusi Plastik
Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendali Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan bahwa pengendalian polusi plastik adalah prioritas utama yang tidak dapat dikompromikan oleh kepentingan lain. Hal ini sejalan dengan mandat Pasal 28 huruf H UUD 1945, yang menyebutkan pentingnya ketersediaan lingkungan yang layak bagi masyarakat.
“Kita tidak boleh mengabaikan penanganan masalah plastik hanya karena alasan kemajuan pembangunan atau kepentingan distribusi barang dan jasa,” ujar Menteri Hanif dalam Rapat Konsolidasi Multipihak: Perumusan Langkah Strategis Pasca INC 5.2 di Jakarta, Kamis (21/8). Ia menekankan bahwa keberlanjutan lingkungan harus menjadi bagian dari setiap kebijakan pemerintah.
Selain itu, Hanif menjelaskan bahwa Intergovernmental Negotiating Committee (INC) 5.2 gagal mencapai kesepakatan karena adanya perbedaan pandangan terkait produksi plastik, pembiayaan desain produk plastik, serta mekanisme pengambilan keputusan yang tidak sepenuhnya sejalan. Meskipun demikian, Indonesia tetap berkomitmen untuk melanjutkan target pengelolaan sampah, baik dengan maupun tanpa adanya perjanjian global.
Menurutnya, rencana aksi nasional harus disesuaikan dengan konteks dan kapasitas masing-masing negara, mengingat kondisi unik setiap wilayah. “Negosiasi perjanjian plastik harus dilakukan tanpa paksaan. Setiap negara memiliki kondisi yang berbeda, sehingga pendekatan seragam tidak mudah diterapkan,” tambah Hanif.
Dibutuhkan Investasi Besar untuk Penanganan Sampah Plastik
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), penanganan polusi plastik harus mencapai 100% pada tahun 2029. Untuk mencapai target tersebut, Indonesia menetapkan beberapa langkah strategis, seperti:
- Membangun 250 Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPS Terpadu)
- Memperluas jumlah Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Rumah Tangga (TPS3R) hingga 42 ribu
- Menerapkan teknologi waste to energy berupa Refuse Derived Fuel (RDF) di 33 kota
- Mendampingi 343 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) open dumping menjadi sanitary landfill
Untuk membiayai program-program tersebut, diperlukan hampir US$ 20-21 miliar atau setara dengan Rp 300 triliun. Hanif menekankan bahwa kontribusi dari negara-negara maju sangat penting dalam bentuk teknologi, investasi, capacity building, transfer pengetahuan, serta pendanaan. Ini bertujuan untuk membantu negara-negara yang belum memiliki kapasitas penuh dalam mengelola sampah plastik.
Potensi Ekonomi Sirkular dan Kerja Sama Multi Pihak
Selain itu, potensi ekonomi sirkular juga perlu terus dikembangkan sebagai solusi jangka panjang dalam penanganan sampah plastik. Pendekatan ini menekankan daur ulang dan penggunaan kembali bahan-bahan yang sudah digunakan, sehingga mengurangi dampak lingkungan.
Skema pendanaan juga dapat dilakukan melalui kerja sama National Plastic Action Partnership (NPAP). Platform multipihak ini melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah, akademisi, peneliti, ahli, industri, lembaga keuangan, swasta, dan masyarakat sipil. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah sampah plastik secara bersama-sama dan membangun sistem pengelolaan yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!