
Pengertian dan Dampak dari Daddy Issues
Daddy issues adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan tantangan emosional yang dihadapi oleh orang dewasa, yang mungkin berasal dari pengalaman masa kecil yang tidak ideal. Dua kemungkinan pengalaman utama yang bisa menyebabkan daddy issues adalah tumbuh tanpa kehadiran ayah atau memiliki hubungan dengan ayah yang tidak sehat atau penuh konflik. Meskipun istilah ini populer dalam percakapan sehari-hari, banyak orang masih memahami secara salah. Misalnya, seseorang yang memilih pasangan yang lebih tua langsung dikatakan memiliki daddy issues, padahal hal itu tidak sepenuhnya benar.
Sebenarnya, daddy issues bukan hanya tentang pilihan pasangan atau kebutuhan akan perhatian. Lebih dalam lagi, masalah ini berkaitan dengan luka emosional, pola asuh yang tidak sehat, serta perasaan tidak terpenuhi terhadap figur ayah selama masa kecil. Dampaknya bisa terasa hingga berbagai aspek kehidupan, seperti cara seseorang membangun kepercayaan, menjaga harga diri, dan menjaga kesehatan mental secara keseluruhan.
Penjelasan Psikologis di Balik Daddy Issues
Meski istilah “daddy issues” sering digunakan, ia bukanlah istilah medis resmi. Dalam buku panduan Diagnosis dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5), kita tidak akan menemukan istilah ini sebagai gangguan mental yang diakui. Hal ini membuat beberapa ahli psikologi merasa tidak nyaman dengan penggunaannya. Salah satunya adalah Amy Rollo, seorang psikoterapis berlisensi yang menegaskan bahwa istilah ini sering kali digunakan untuk meremehkan kebutuhan emosional, khususnya pada wanita.
Setiap anak membutuhkan sosok dewasa yang konsisten dan dapat diandalkan untuk membentuk keterikatan yang aman. Jika hal ini tidak terbentuk—misalnya karena ketidakhadiran ayah atau hubungan yang penuh konflik—maka anak bisa mengembangkan pola keterikatan yang tidak aman, seperti menghindar atau cemas. Pola ini seringkali muncul kembali di masa dewasa, terutama dalam hubungan romantis, dan disalahpahami sebagai daddy issues.
Tanda-Tanda Seseorang Mengalami Daddy Issues
Tanda-tanda dari daddy issues biasanya berkaitan dengan pola keterikatan yang tidak aman. Jika kebutuhan emosional tidak terpenuhi secara konsisten oleh orang tua atau figur ayah, hal ini bisa terbawa hingga dewasa dan terlihat dalam cara seseorang menjalin hubungan. Beberapa tanda umum antara lain:
- Cemas saat tidak bersama pasangan – Seseorang bisa merasa gelisah atau khawatir berlebihan ketika pasangannya tidak ada di dekatnya.
- Butuh banyak kepastian dalam hubungan – Mereka cenderung terus-menerus mencari validasi, misalnya dengan sering menanyakan apakah hubungan masih baik-baik saja.
- Melihat konflik kecil sebagai tanda hubungan gagal – Sedikit masalah atau sikap negatif dari pasangan bisa langsung dianggap pertanda buruk atau akhir dari hubungan.
Selain dalam hubungan romantis, tanda-tanda ini juga bisa muncul dalam hubungan pertemanan atau hubungan dekat lainnya. Dalam psikologi, kondisi ini bisa disebut sebagai gangguan keterikatan (attachment disorder).
Dampak dan Cara Menangani Daddy Issues
Daddy issues bisa memengaruhi banyak aspek kehidupan seseorang. Dalam hubungan, sering kali muncul rasa tidak percaya, kecemasan berlebihan, hingga kesulitan menjaga kedekatan yang sehat. Dari sisi pribadi, hal ini dapat menurunkan kepercayaan diri dan membuat seseorang selalu merasa kurang layak dicintai. Jika dibiarkan, dampaknya bisa berlanjut ke kesehatan mental seperti stres kronis, kecemasan, bahkan depresi.
Kabar baiknya, kondisi ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa diatasi. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Konseling dengan terapis – Bantuan dari terapis berpengalaman bisa membantu menemukan pola keterikatan yang terbawa ke masa dewasa dan bagaimana hal itu memengaruhi hubungan saat ini.
- Membangun ulang keyakinan diri – Proses terapi sering kali melibatkan upaya untuk menyeimbangkan kembali keyakinan inti tentang harga diri, kemampuan untuk percaya pada orang lain, serta rasa kendali atas hidup sendiri.
- Mengembangkan keterampilan regulasi emosi – Belajar mengenali, memahami, dan mengelola emosi akan membuat seseorang lebih siap menghadapi konflik tanpa harus kembali pada pola lama yang tidak sehat.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!