
Apa Itu Daddy Issue dan Dampaknya pada Kehidupan
Istilah "daddy issue" kini semakin populer dalam percakapan sehari-hari maupun di media sosial. Meski terdengar seperti tren, istilah ini merujuk pada luka batin yang muncul akibat hubungan yang tidak sehat antara anak dengan figur ayah. Luka ini bisa terbawa hingga dewasa dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk rasa percaya diri dan kemampuan dalam membangun hubungan romantis.
Dalam konten edukasi dari akun TikTok @feminiyou, disebutkan bahwa daddy issue sering muncul ketika anak tumbuh dalam lingkungan di mana figur ayah absen, otoriter, atau tidak menunjukkan kasih sayang yang cukup. Kekosongan emosional ini dapat membuat anak mencari cara lain untuk mengisi rasa kosong, salah satunya melalui hubungan percintaan. Hal ini juga disampaikan oleh kreator @chikology, yang menekankan bahwa meskipun perempuan sering kali menjadi fokus utama, luka ini juga bisa dialami oleh laki-laki. Mereka mungkin merasa kurang baik atau selalu membutuhkan validasi, sehingga hubungan mereka dipenuhi rasa cemas dan ketakutan ditinggalkan.
Menurut psikolog keluarga yang diulas oleh kanal Brokenhome Indonesia, pengalaman masa kecil sangat memengaruhi pola pikir dan emosi seseorang saat dewasa. Anak yang jarang mendapat validasi dari ayah cenderung memiliki harga diri rendah, sering mempertanyakan nilai dirinya, sulit percaya pada pasangan, dan mudah merasa ditolak tanpa alasan jelas. Dampak psikologis dari daddy issue juga cukup luas, mulai dari rasa cemas berlebihan dalam hubungan romantis hingga kesulitan mengekspresikan perasaan.
Beberapa contoh dampak yang sering terjadi adalah sikap posesif, takut kehilangan, atau justru menarik diri agar tidak terluka. Selain itu, individu dengan daddy issue sering merasa tidak pantas dicintai, sehingga sulit menerima kasih sayang secara penuh. Mereka yang terbiasa dengan ayah otoriter juga cenderung kesulitan mengekspresikan perasaan, yang akhirnya memicu konflik dalam hubungan maupun pertemanan.
Meski daddy issue terdengar menakutkan, kondisi ini bukanlah hal yang tidak bisa diatasi. Pakar psikologi merekomendasikan beberapa langkah pemulihan, seperti menyadari bahwa pola masa lalu tidak sepenuhnya menentukan masa depan. Membuka diri untuk terapi atau konseling juga sangat penting. Latihan self-compassion dapat membantu seseorang memberi ruang bagi dirinya untuk pulih tanpa terus-menerus menyalahkan masa lalu.
Selain itu, membangun relasi sehat dengan orang-orang yang supportif menjadi kunci dalam proses penyembuhan. Dukungan sosial dapat berperan sebagai faktor pelindung yang mampu meredakan dampak luka masa kecil. Fenomena ini semakin sering terlihat dalam kehidupan generasi muda. Misalnya, seseorang yang tumbuh tanpa kehadiran ayah cenderung mencari pasangan yang lebih tua karena ingin mendapatkan figur protektif yang hilang. Ada pula yang kesulitan mempertahankan hubungan stabil karena dihantui rasa takut diabaikan kembali.
Diskusi publik di TikTok menunjukkan banyak orang merasa “baru sadar” mengidap daddy issue setelah mengenali tanda-tandanya. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh relasi keluarga terhadap kesehatan mental. Meski luka masa lalu tidak mudah dihapus, setiap orang tetap memiliki kesempatan untuk pulih. Dengan kesadaran diri, bantuan profesional, serta dukungan lingkungan yang tepat, mereka yang mengalami luka ini berpeluang membangun kehidupan emosional yang lebih sehat dan bermakna. Perjalanan menuju penerimaan diri memang tidak sederhana, namun dengan langkah konsisten dan dukungan yang mendukung, pemulihan bukanlah hal yang mustahil.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!