
Peran Bantalan Anggaran dalam Menghadapi Ketidakpastian Ekonomi Global
Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang disimpan di Bank Indonesia menjadi salah satu alat penting untuk menjaga stabilitas keuangan negara, terutama dalam menghadapi tekanan ekonomi global. Saat ini, pemerintah memiliki SAL sebesar sekitar Rp 440 triliun. Dari jumlah tersebut, sebagian besar akan digunakan untuk menutup defisit anggaran tahun ini, pembiayaan koperasi desa, dan bantuan likuiditas kepada bank pelat merah.
Dari total SAL, sebesar Rp 85,6 triliun dialokasikan untuk menutup defisit anggaran, sedangkan Rp 16 triliun digunakan untuk pembiayaan Koperasi Desa Merah Putih. Selain itu, sekitar Rp 200 triliun disalurkan ke lima bank pelat merah guna memperkuat likuiditas sektor perbankan. Setelah penggunaan tersebut, sisa SAL diperkirakan mencapai sekitar Rp 138,4 triliun.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman, menyampaikan bahwa secara manajemen kas, bantalan SAL ini dinilai relatif tipis. Hal ini karena kebutuhan bulanan pemerintah bisa mencapai ratusan triliun rupiah, terutama untuk belanja wajib seperti pembayaran gaji aparatur, bunga surat berharga negara (SBN), serta transfer ke daerah.
Rizal menegaskan bahwa sisa SAL hanya aman jika dana sebesar Rp 200 triliun yang ditempatkan di bank Himbara benar-benar likuid dan dapat ditarik dengan cepat ketika dibutuhkan. Jika tidak, posisi kas pemerintah akan rentan, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global dan volatilitas pasar keuangan.
Risiko dari Arus Kas yang Menipis
Jika arus kas pemerintah menipis, risiko utama yang muncul adalah keterlambatan pembayaran kewajiban, seperti pembayaran ke kontraktor atau pemerintah daerah. Hal ini dapat mengganggu realisasi belanja dan berdampak pada aktivitas riil ekonomi. Selain itu, pemerintah bisa terpaksa meningkatkan penerbitan SBN dalam kondisi pasar yang kurang kondusif, sehingga yield naik dan biaya bunga bertambah.
Kondisi ini tidak hanya memperbesar utang secara kuantitas, tetapi juga menimbulkan beban bunga yang lebih tinggi di masa depan. Dengan kata lain, jika cashflow kering, utang berpotensi membengkak lebih besar dari proyeksi awal, baik karena volume pembiayaan yang meningkat maupun karena premi risiko yang lebih mahal.
Strategi untuk Menjaga Stabilitas Fiskal
Untuk menjaga stabilitas fiskal, disiplin dalam menjaga buffer likuiditas, strategi lelang SBN yang terukur, serta prioritisasi belanja wajib menjadi kunci. Pengalaman masa lalu, khususnya saat era Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada 2015, menunjukkan bahwa tekanan harga minyak dunia dan melesetnya penerimaan pajak membuat arus kas negara menipis. Akibatnya, belanja modal dan transfer ke daerah harus ditunda, yang berdampak pada penundaan proyek dan meningkatnya yield SBN.
Pengalaman tersebut memberi pelajaran penting bahwa ketika kas pemerintah terlalu tipis, risiko yang muncul tidak hanya pada sisi belanja, tetapi juga pada stabilitas fiskal dan persepsi pasar. Oleh karena itu, idealnya SAL dijaga pada level aman yang setara dengan satu hingga dua bulan kebutuhan belanja rutin wajib, seperti pembayaran gaji aparatur, bunga utang, dan transfer ke daerah.
Dengan kebutuhan kas bulanan pemerintah yang rata-rata berada pada kisaran Rp 200 triliun hingga Rp 250 triliun, maka SAL yang sehat sebaiknya mencapai Rp 400 triliun hingga Rp 500 triliun. Dengan anggaran penyangga sebesar itu, pemerintah memiliki ruang yang cukup untuk menjaga stabilitas kas meski terjadi tekanan penerimaan atau volatilitas pasar pembiayaan.
Jika SAL turun di bawah batas satu bulan belanja wajib, risikonya bukan hanya terganggunya realisasi belanja, tetapi juga meningkatnya biaya utang dan melemahnya kredibilitas fiskal di mata investor.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!