
Kondisi Ekonomi Indonesia yang Membatasi Penurunan Yield SBN
Posisi Indonesia dalam menekan yield Surat Berharga Negara (SBN) terkendala oleh berbagai faktor yang membatasi ruang gerak. Salah satunya adalah kerentanan rupiah yang menghambat Bank Indonesia (BI) untuk melakukan penurunan suku bunga secara agresif. Selain itu, basis investor domestik yang masih terbatas juga turut memengaruhi dinamika yield SBN.
Kerentanan Rupiah dan Ruang Moneter yang Terbatas
Salah satu faktor utama yang menghambat penurunan yield SBN adalah kerentanan rupiah serta keterbatasan ruang moneter. Pada tahun 2025, Indonesia diperkirakan akan mencatat defisit transaksi berjalan sebesar -0,9% dari PDB. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan Thailand dan Malaysia yang masing-masing mencatat surplus sebesar 2,4% dan 2,0%.
Defisit tersebut membuat posisi eksternal Indonesia lebih rentan. Tekanan impor yang lebih besar daripada ekspor berpotensi melemahkan rupiah dan menjadikannya lebih rentan terhadap gejolak pasar. Di sisi lain, salah satu mandat utama BI adalah menjaga stabilitas nilai rupiah, sehingga ruang pelonggaran suku bunga pun terbatas.
Kondisi ini membuat BI rate tetap bertahan di level 5,0%. Sementara negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand mampu menahan suku bunganya di bawah Fed Funds Rate sebesar 4,5%, yaitu masing-masing sebesar 2,75% dan 1,50%.
"Selisih suku bunga yang lebar membuat yield SBN Indonesia terjebak di level tinggi," tulis Handy dalam keterangan yang dikutip Senin (25/8/2025).
Basis Investor Domestik yang Masih Dangkal
Faktor kedua yang menjadi hambatan adalah basis investor domestik yang masih dangkal. PDB per kapita Indonesia yang hanya sekitar US$5.000 membuat industri dana jangka panjang juga tidak berkembang pesat. Indikator ini menunjukkan ketimpangan dengan negara-negara lain seperti Malaysia yang memiliki PDB per kapita sebesar US$12.400 dan Thailand sebesar US$7.986.
Aset industri asuransi Indonesia baru mencapai 5,1% dari PDB, jauh tertinggal dari Malaysia (45,2%), Thailand (23,7%), Filipina (9,7%), dan bahkan Singapura yang mendekati 70%. Sementara itu, penetrasi premi di Indonesia hanya 2,84%, jauh di bawah Singapura (12,5%), Thailand (4,6%), dan Malaysia (3,8%).
"Akibatnya, pasar SBN tetap bergantung pada investor asing. Pemerintah terpaksa menawarkan yield premium lebih tinggi, berbeda dengan Thailand dan Malaysia yang bahkan bisa memberi yield lebih rendah daripada obligasi AS. Ini sesuatu yang bagi Indonesia masih terasa jauh dari jangkauan," tegasnya.
Ruang Fiskal yang Sempit
Faktor ketiga yang menjadi perhatian adalah ruang fiskal yang sempit. Rasio penerimaan Indonesia hanya sebesar 12,5% dari PDB, tertinggal dari Malaysia (16,8%) dan Thailand (18%). Kondisi ini memaksa Indonesia menanggung beban bunga yang lebih berat, yaitu sebesar 14,9% dari penerimaan. Sementara, Thailand hanya 6,3% dan Malaysia 13,2%.
Handy menyatakan bahwa keterbatasan ini mempersempit ruang ekspansi fiskal, padahal kebutuhan pembiayaan program prioritas semakin mendesak. Tanpa langkah berani untuk meningkatkan penerimaan, mengendalikan belanja, dan menurunkan beban bunga, risiko pelebaran defisit akan tetap menghantui.
"Itu artinya, peluang upgrade rating pun mengecil, dan yield SBN akan sulit turun lebih cepat," ungkapnya.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!