
Peran Regulasi dan Sosialisasi dalam Pengendalian Penggunaan Vape
Pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan langkah-langkah yang lebih ketat terkait penggunaan rokok elektrik atau vape. Wacana ini semakin mengemuka setelah Singapura melarang peredaran produk tersebut di negaranya. Dalam konteks ini, berbagai pihak mulai menyoroti pentingnya kebijakan yang seimbang antara kesehatan masyarakat, regulasi hukum, serta dampak ekonomi dan budaya.
Seorang pakar ilmu pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Awang Darumurti, S.IP., M.Si., menyampaikan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan berbagai aspek dalam mengatur penggunaan vape. Menurutnya, kebijakan yang diterapkan harus mencakup perspektif agama, kajian ilmiah, serta dampak terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Awang menjelaskan bahwa menurut fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, vape memiliki kemiripan dengan rokok konvensional karena mengandung nikotin dan bersifat adiktif. Hasil penelitian internasional juga menunjukkan bahwa penggunaan vape dapat berdampak buruk, terutama bagi generasi muda. Jika tidak segera diatasi, hal ini bisa menghambat pencapaian visi Indonesia Emas 2045.
Selain itu, Awang mengingatkan bahwa sejak tahun 2010, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa haram terhadap rokok. Hal ini juga berlaku untuk vape karena sama-sama mengandung zat adiktif. Meski ada banyak jurnal kesehatan internasional yang menegaskan risiko vape, riset jangka panjang masih dalam proses.
Tantangan dalam Regulasi
Salah satu tantangan utama dalam pengendalian vape adalah kelemahan regulasi nasional saat ini. Saat ini, aturan masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 yang belum secara tegas mencantumkan vape sebagai produk tembakau. Oleh karena itu, Awang menyarankan agar PP tersebut segera direvisi untuk memasukkan vape sebagai zat adiktif yang perlu diatur.
Menurutnya, jika pemerintah ingin serius dalam mengendalikan vape, revisi regulasi ini sangat mendesak dilakukan. Tanpa perubahan, akan sulit untuk memberikan perlindungan yang maksimal kepada masyarakat.
Dampak Ekonomi yang Perlu Dipertimbangkan
Dari sisi ekonomi, Awang juga menyoroti potensi risiko jangka panjang. Meskipun ada pandangan bahwa cukai vape dapat meningkatkan pendapatan negara, beban biaya kesehatan akibat penggunaan vape diperkirakan akan jauh lebih besar di masa depan. Dalam waktu 20–30 tahun ke depan, biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh negara bisa jauh melebihi pemasukan dari cukai vape.
Ini menjadi peringatan penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang sebelum mengambil kebijakan terkait pengaturan vape.
Tantangan Budaya dan Kepentingan Berbeda
Selain regulasi dan ekonomi, tantangan terbesar lainnya datang dari sisi budaya. Perdebatan mengenai rokok konvensional saja masih berlangsung, sehingga munculnya vape berpotensi memperkeruh benturan kepentingan antara pro-industri dan kelompok pengendalian tembakau.
Awang menekankan bahwa untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu melakukan revisi PP 109/2012 yang disertai dengan penguatan sosialisasi. Ia menilai, regulasi yang lemah hanya akan memicu maraknya peredaran ilegal vape. Di sisi lain, sosialisasi yang masif akan membantu masyarakat memahami bahwa kebijakan ini dibuat demi kemaslahatan bersama, bukan sekadar kepentingan politik atau industri.
Kesimpulan
Dengan pertimbangan berbagai aspek seperti regulasi, ekonomi, dan budaya, pemerintah perlu merancang kebijakan yang komprehensif dan berkelanjutan dalam menghadapi isu vape. Revisi regulasi, penguatan sosialisasi, serta pemahaman masyarakat akan pentingnya kebijakan ini menjadi kunci sukses dalam pengendalian penggunaan vape.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!