
Menikmati Perjalanan di Jalan Layang Sheikh Mohamed bin Zayed
Jalan layang Sheikh Mohamed bin Zayed (MbZ) yang panjangnya 37 kilometer sering menjadi sumber kekesalan bagi pengendara. Mulai dari Cikunir Junction di barat hingga Karawang Barat di timur, perjalanan melalui jalan ini terasa seperti berada dalam mobil yang terus-menerus bergoyang dan terpontal-pontal. Namun, apakah menggerutu adalah satu-satunya cara untuk menghadapi situasi ini?
Sabtu lalu, saya dan rombongan melakukan perjalanan bolak-balik melalui jalan layang tersebut. Pagi hari, kami menuju Cikampek dengan tubuh yang terus-menerus diguncang, dan sore harinya kembali ke Jakarta dengan kondisi yang sama. Awalnya, saya merasa kesal karena permukaan jalan tidak sehalus yang diharapkan. Saya bahkan sempat memprotes dalam hati bahwa jika dana pembangunan tidak disalahgunakan, mungkin jalan ini akan lebih nyaman.
Namun, saya mencoba untuk menikmati perjalanan pagi itu. Cahaya matahari yang bersinar dari timur menembus celah-celah bangunan, menciptakan pemandangan yang indah. Di sisi lain, asap mesin pabrik di kawasan Cikarang mengarah ke barat, memberikan nuansa yang puitis. Meski demikian, saya sadar bahwa apa yang terlihat indah bisa saja membawa dampak buruk bagi kesehatan masyarakat.
Sore hari, saya berusaha untuk tidak menggerutu lagi. Saya menyadari bahwa jalan layang MbZ sangat membantu dalam memangkas waktu tempuh. Dengan begitu, saya bisa tiba di rumah lebih cepat. Meskipun tubuh saya tetap terguncang di jok mobil, saya mencoba untuk pasrah dan tidak mempermasalahkan hal itu.
Di tengah perjalanan pulang, pemandangan senja yang lembut terhampar di cakrawala barat. Matahari belum sepenuhnya terbenam, namun langit tampak seperti surya yang tenggelam. Jalan layang yang bergelombang naik turun mirip dengan jalur perbukitan. Di sepanjang koridor kiri, rel kereta cepat Woosh terlihat jelas. Banyak mobil berlarian di depan, baik ke arah Jakarta maupun Cikampek. Tiang-tiang lampu penerangan tegak berbaris di kiri dan kanan jalan.
Dalam hati, saya berkata, "Ini pemandangan petang yang indah. Mengapa tidak diabadikan?" Saya langsung mengambil ponsel tua saya dan mulai mengambil foto dari atas jalan layang MbZ. Hasilnya hanya sedikit diedit, hanya untuk membuang bagian-bagian yang tidak penting, seperti dasbor mobil atau benda-benda yang mengganggu komposisi foto.
Melaju cepat di atas jalan layang, saya merasa seperti mengejar senja ke Jakarta, mengadangnya agar tidak menjadi malam. Perasaan ini terinspirasi oleh adegan dalam film Bram Stoker's Dracula, yang menggambarkan karakter-karakter yang mengejar senja untuk menyelamatkan seseorang dari ancaman vampir.
Saya membayangkan diri sebagai Van Helsing, sedangkan pejabat korup sebagai Dracula. Dengan pedang di tangan, saya mengejar senja ke Jakarta untuk menghentikan Dracula yang mengisap darah rakyat. Puisi sederhana ini menggambarkan perasaan saya saat itu:
"Kami mengejar senja ke Jakarta; hendak mengadang malam, agar mata para drakula tak bisa melihatnya; jangan sampai mereka mengisap darah kami di kegelapan."
Ketika roda-roda mobil kami melindas aspal jalan di tepi timur kota Jakarta, matahari sudah menghilang di ufuk barat. Rasanya sesak di dada karena misi untuk menghabisi Dracula gagal total. Walaupun begitu, saya tetap percaya bahwa setiap orang memiliki peran dalam memperbaiki kondisi yang ada.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!