
Masa Remaja: Periode Transisi yang Penuh Perubahan
Masa remaja merupakan fase penting dalam perkembangan seseorang. Di masa ini, individu mengalami perubahan fisik, emosional, sosial, dan terutama kognitif. Pada tahap ini, remaja mulai memasuki fase operasional formal, yaitu kemampuan berpikir abstrak, logis, dan hipotetik. Mereka mulai bertanya tentang diri sendiri, makna keadilan, nilai-nilai yang mereka yakini, serta bagaimana masa depan yang mereka inginkan.
Remaja tidak lagi menerima informasi secara pasif dari orang tua atau guru. Mereka cenderung menganalisis, membandingkan, dan menyimpulkan sendiri. Mereka ingin berdialog, berdebat secara rasional, dan diuji dengan logika. Oleh karena itu, pola komunikasi yang salah bisa merusak kepercayaan diri remaja atau bahkan membawa mereka pada kebiasaan yang tidak sehat.
Menurut psikolog RS Santosa Central, Fahmi Windia Rahayu, salah satu tantangan komunikasi dengan remaja adalah egosentrisme. “Mereka merasa semua orang memperhatikan mereka (imaginary audience) dan menganggap dirinya unik atau tak terkalahkan (personal fable). Hal ini membuat mereka tampak dramatis, sensitif terhadap kritik, atau menolak nasihat,” ujarnya.
Selain itu, remaja cenderung berpikir idealis. Mereka membandingkan realitas dengan dunia yang menurut mereka ideal. Ketidaksesuaian perspektif ini sering memicu konflik dengan orang dewasa yang lebih realistis.
Pentingnya Dialog dan Empati
Windia menegaskan bahwa pendekatan otoriter sudah tidak lagi efektif ketika anak memasuki usia remaja. Orangtua perlu menyesuaikan diri dengan kemampuan berpikir abstrak anak, membuka ruang dialog, dan mendengarkan gagasan mereka.
Remaja perlu diberi ruang untuk berpendapat, mendapat alasan logis atas aturan, serta kesempatan merespons. Dengan begitu, mereka merasa dihargai sebagai individu yang sedang berkembang menuju kedewasaan.
Sebagai contoh, ketika anak ingin memilih jurusan seni rupa, orangtua tidak sebaiknya langsung menolak dengan alasan “tidak ada masa depan.” Sebaliknya, ajukan pertanyaan reflektif seperti, “Apa yang membuatmu merasa seni adalah bagian dari dirimu? Sudahkah kamu mempertimbangkan tantangan di bidang itu?” Pertanyaan semacam ini melatih remaja berpikir sistematis dan menyusun argumen.
Jika remaja merasa pemikirannya dihargai, mereka lebih terbuka dan siap menerima masukan. Namun, jika pendapatnya selalu diremehkan, mereka bisa menarik diri atau mencari validasi dari luar, yang belum tentu positif.
Dampak Komunikasi yang Tidak Efektif
Kegagalan membangun komunikasi terbuka dan empatik memiliki dampak luas. Remaja bisa menjadi tertutup, mudah tersinggung, bahkan terlibat dalam perilaku berisiko. Di sisi lain, komunikasi positif mendorong tumbuhnya rasa percaya diri, pemikiran kritis, dan kemampuan mengambil keputusan matang.
Sayangnya, banyak orangtua justru kesulitan dalam menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Salah satu penghambat terbesar adalah kurangnya rasa percaya kepada anak. Kekhawatiran orangtua sering diwujudkan dalam bentuk larangan berlebihan atau kontrol ketat. Meskipun maksudnya melindungi, hal ini justru menimbulkan jarak emosional.
Ketika anak merasa diragukan, mereka cenderung menjauh. Kehangatan komunikasi pun hilang, digantikan rasa curiga. Di sisi lain, perubahan emosi remaja yang cepat—seperti mudah marah, sedih, atau menarik diri—sering membuat orangtua bingung dan memilih menghindari percakapan.
Langkah Awal Membangun Komunikasi Positif
Kesulitan ini juga bisa bersumber dari pengalaman masa lalu orangtua. Jika mereka tumbuh dalam keluarga yang kaku dan penuh perintah, pola itu terbawa dalam mendidik anak. Perubahan tentu tidak mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan.
Langkah awal membangun komunikasi positif adalah menciptakan ruang aman. Remaja perlu merasa bisa bercerita tanpa takut dimarahi atau dihakimi. Saat anak mulai terbuka, orangtua sebaiknya menahan diri untuk tidak langsung memberi nasihat, melainkan mendengarkan terlebih dahulu. Kadang yang dibutuhkan hanyalah telinga yang mau mendengar, bukan solusi instan.
Selain itu, penting bagi orangtua untuk memberikan kepercayaan. Bukan berarti membiarkan anak semaunya, melainkan memberi kesempatan membuat keputusan, belajar dari kesalahan, dan bertanggung jawab. Rasa dipercaya mendorong mereka untuk lebih jujur dan terbuka.
Windia menekankan, komunikasi positif bukan proses instan. Dibutuhkan kesabaran, konsistensi, dan kemauan belajar, baik dari pengalaman maupun dari anak sendiri. Orangtua tidak harus sempurna—cukup hadir, mendengar, dan tumbuh bersama anak.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!