
Perubahan Cara Pandang Terhadap Komunikasi dengan Anak
Sejak tahun 70-an dan 80-an, metode pengajaran dan pemahaman psikologi anak telah mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini memicu perbedaan besar dalam cara guru berkomunikasi dengan murid-murid mereka. Frasa yang dulu dianggap biasa kini bisa dianggap sebagai bentuk trauma psikologis. Memahami perubahan ini sangat penting untuk meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan mental anak.
Berikut ini adalah beberapa ungkapan yang pernah digunakan oleh guru-guru pada masa lalu dan sekarang dianggap tidak sesuai dengan standar pendidikan modern:
1. "Saya Tidak Peduli Siapa yang Memulainya"
Frasa ini sering digunakan untuk mengakhiri perselisihan antara siswa. Guru pada masa itu hanya ingin menghentikan konflik tanpa mencari akar masalah. Ini membuat anak merasa diabaikan dan tidak diajarkan bagaimana menyelesaikan masalah secara efektif.
2. "Berhenti Menangis atau Saya Beri Kamu Sesuatu untuk Ditangisi"
Ungkapan ini bertujuan untuk menghentikan tangisan dengan ancaman. Alih-alih memberikan dukungan emosional, hal ini justru menekan perasaan anak dan membuat mereka takut. Anak belajar bahwa emosi mereka tidak valid dan harus disembunyikan.
3. "Kamu Tidak Hidup Sesuai Potensimu"
Pada masa lalu, guru percaya bahwa semua siswa harus mengikuti satu standar. Ungkapan ini bisa membuat anak merasa gagal meskipun mereka sudah berusaha. Hal ini tidak menghargai perbedaan kecepatan dan cara belajar setiap anak.
4. "Tongkat dan Batu Boleh Mematahkan Tulangmu, tapi Kata-kata Tidak Akan Menyakitimu"
Pepatah ini digunakan untuk meremehkan dampak dari perundungan verbal. Namun, penelitian modern membuktikan bahwa kata-kata dapat melukai otak dan meninggalkan trauma. Frasa ini mengajarkan anak untuk menekan perasaan mereka dan menerima perlakuan buruk.
5. "Namanya Juga Anak Laki-laki"
Ungkapan ini memberi izin bagi anak laki-laki untuk berperilaku buruk. Mulai dari merusak barang hingga melecehkan anak perempuan, semua dimaafkan dengan kalimat ini. Hal ini menciptakan pandangan gender yang toksik dan tidak menghormati anak perempuan.
6. "Sudah Dicoba Berpikir Lebih Keras?"
Guru di era tersebut mengharapkan siswa untuk mengikuti satu pola pikir saja. Kalimat ini menyiratkan bahwa siswa bodoh jika tidak langsung memahami sesuatu. Ini meremehkan proses belajar dan berpikir anak.
7. "Ini Akan Masuk ke Catatan Permanenmu"
Frasa ini digunakan sebagai ancaman tanpa mempertimbangkan dampak psikologisnya. Guru berharap anak patuh karena takut masa depan mereka rusak. Hal ini mengintimidasi dan memanipulasi anak secara emosional.
8. "Dengarkan Saya, Saya Orang Dewasa"
Ungkapan ini menunjukkan otoritas absolut dan menolak segala pertanyaan atau keraguan dari anak. Hal ini membungkam keingintahuan anak dan membuat mereka takut untuk berpikir kritis. Mereka diajarkan untuk tidak mempertanyakan otoritas orang dewasa.
9. "Jalani Saja"
Frasa ini digunakan sebagai respons atas cedera atau rasa sakit yang tidak terlihat. Guru menganggap cedera yang dialami anak sebagai sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Ini meremehkan pengalaman fisik dan emosional anak.
Perubahan cara pandang ini mencerminkan kesadaran yang semakin tinggi terhadap kesehatan mental anak. Kita belajar bahwa cara berkomunikasi dengan anak memiliki dampak jangka panjang. Penting untuk memahami mengapa kalimat yang seolah-olah tidak berbahaya ini bisa jadi sangat menyakitkan.
Hal ini menekankan pentingnya komunikasi yang penuh empati dan rasa hormat dalam mendidik anak. Perlu diingat bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk membentuk atau bahkan merusak jiwa anak. Kita harus berhati-hati dalam setiap ucapan.
Komentar
Tuliskan Komentar Anda!